Monday, April 20, 2020

Bagaimana rasanya menyesal?

Tahukah kamu?

Yang kamu berikan untuknya sekarang, adalah yang pernah kudapatkan dulu. Yang membuat dia jatuh cinta hingga bercerita dengan bangga kepada teman dan keluarganya, adalah yang kulakukan berulang-ulang dulu. Yang membuatnya tersenyum dibalik pesan-pesan mu, adalah yang dulu membuatku bertahan selama itu. Yang dulu ku akui dalam hati dan tidak pernah berhenti kupamerkan sana sini, ternyata kini aku tergantikan dengan yang lain.

Jadi, bagaimana rasanya menyesal?

Sesak. Banyak sekali hal yang seharusnya bisa kita selesaikan, namun bodohnya aku memilih untuk meninggalkan dan kamu menduakan. Bukan dia yang membuatku marah karena menggantikan posisiku di duniamu, aku hanya menyesali betapa mudahnya aku memberikan kamu kepada orang lain hingga lupa seberapa besar dan jauh usaha kita selama bertahun-tahun untuk selalu menjaga dan juga bersama. Tidak ada lagi usahaku dalam mempertahankanmu untuk terakhir kali, padahal aku sadar bahwa setelah semua ini aku akan susah untuk melalui semuanya sendiri.

Ternyata benar, menyembunyikan kebohongan bahwa aku baik-baik saja tanpamu selama ini tidak semenyenangkan dan semudah yang aku pikir. Aku selalu berusaha menjawab segala pertanyaan-pertanyaan yang menanyakan keberadaanmu dan bagaimana kabarmu, mana aku tahu, toh selama ini kita memutuskan untuk tidak bertemu dan memberi kabar demi menjaga apa yang memang perlu dijaga. Aku yang selalu berusaha untuk menahan tidak mengingat ada memori apa dibalik semua foto-foto kita, walaupun akhirnya secara tidak sadar teringat beberapa percakapan dan juga kenangan didalamnya. Lelah. Aku pikir ini hanya masalah waktu dan semua akan berlalu, ternyata aku salah, semakin lama ternyata aku semakin larut didalamnya. Tidak bisa keluar, walau banyak orang menjulurkan tangan. Bukan tidak bisa, mungkin aku saja yang tidak siap atau takut untuk memulai semua dari awal.

          Beberapa kali aku memanfaatkan akun media sosial milik teman, atau sengaja membuat akun palsu hanya untuk melihat bagaimana kabarmu dan apa saja aktivitasmu. Tempat yang kamu kunjungi bersamanya, bukankah itu tempat-tempat kita dulu, dan kini kamu lakukan bersamanya? Mengapa tempat-tempat yang menceritakan kita, dengan mudah kamu datangi untuk mengukir cerita baru dengannya? Bahkan aku tidak pernah dengan sengaja mengajak orang lain untuk mendatangi tempat-tempat yang kita habiskan untuk berdua, dulu. Bukankah melakukan hal dan mendatangi tempat yang sama seperti dulu akan membuatmu mengingat masa lalu? Atau bahkan tidak sama sekali?

           Mungkin sebaiknya kamu pergi, agar aku bisa dengan mudah mengakhiri cerita ini. Pergilah yang jauh dari sini, berlarilah ke tempat yang aku tak tahu itu dimana, hingga aku tidak lagi mengenali keberadaan kalian. Jangan menggantikan kenangan-kenangan kita yang sudah ada. Aku tidak membicarakan posisiku. Karena sungguh kini kamu bebas mau mencinta dan dicinta oleh siapa, toh tidak ada lagi hakku disana, sekeras apapun aku berdoa dan meminta pada Tuhan. Pada hati dan hidupmmu, aku sudah terganti oleh dia yang baru. Jadi, putuskanlah untuk berbahagia selalu, meski tanpaku.

Monday, February 24, 2020

Selamat Ulang Tahun, D :)

mini note : play lagu Ardhito Pramono - Happy as your backsound to read this one ya, thanks.

---

Subang, 24 Februari 2020.
"I do never expected this February will guide me to the highest of high and also the lowest of low. This is my birthday, dan harusnya menjadi hari yang paling bahagia bukan?", ini menjadi kalimat yang menemani perjalanan dari Bandung menuju Subang malam itu. Dengan perasaan yang tidak seperti biasanya, bahkan mungkin 12 jam sebelumnya. 
Hari ini,
aku mencoba melawan banyak rasa, kecewa salah satunya. Entah apa yang harus dipusingkan, atau ditangisi. Setelah berusaha dengan sungguh-sungguh, ternyata aku tidak cukup tangguh untuk menjadi utuh. Malam ini, dengan segala ucapan dan doa bahagia dari orang tersayang, aku seratus persen jatuh. 

Aku masih ingat satu kalimat nasihat dari teman semasa kuliah, singkatnya begini 'Dipuji tidak terbang, dicaci tidak tumbang'. Tapi apa daya mungkin selama ini banyak hal yang dilewatkan untuk hanya sekedar bersyukur atas segala yang ada. Kali ini mungkin aku harus benar-benar mengalah, pada ego dan mimpi-mimpi berlebihan yang pernah aku (dan mereka) ciptakan. Banyak hal yang mungkin susah diterima, dan bingung harus darimana untuk dijelaskan. Rasanya seperti bercanda, banyak doa-doa yang menguap di udara tanpa ada satupun yang diadakan di dunia. Seperti dunia dan Tuhan tidak ikut serta berbahagia di hari yang harusnya menjadi hari paling bahagia ini.

Ribuan kali aku menenangkan diri, meminta untuk istighfar.
Banyak hal yang harus disyukuri, bukan hanya hal baik saja tapi yang buruk juga. Ya mungkin Tuhan sedang menguji, seberapa kuat kita dalam menerima dan memainkan peran ini di dunia. Jika ini adalah cara Tuhan untuk memintaku berhenti, maka aku akan berhenti. Tuhan meminta aku untuk mengevaluasi dan memantaskan diri untuk melanjutkan peran di dunia.

Nampaknya memang aku butuh jeda, berhenti sejenak, untuk kembali dengan jiwa yang lebih bahagia. Aku pamit untuk beristirahat sejenak, untuk kembali menjadi lebih kuat (love).

---

Dearest me,Happy birthday dear. Lets love and around healing you, as soon as possible!I love you than you know, you did good so far. 
- Danies.

---

Terimakasih untuk kalian yang sudah mendoakan sebaik mungkin. Terimaksih juga untuk kalian yang sudah setia dan sedia pelukan untuk menenangkan, yang selalu digarda terdepan menyiapkan badan dan juga telinga. Sekali lagi, terimakasih untuk yang sudah mampu mengerti dan tidak pernah pergi.

Maaf jika terlalu banyak harapan yang belum bisa dikabulkan, maaf telah mengecewakan.
Aku pamit, dan akan kembali secepatnya.

- Danies.

Sunday, November 10, 2019

Kita dan Kata.


          Sudah lama dari hari dimana aku tidak membahas tentang kita, tentang kita yang tidak akan pernah selesai dengan sebuah kata-kata. Kamu, yang selalu hangat lebih dari mentari pagi. Yang terbit bukan dari Timur, melainkan dari dalam hati. Ada banyak cara untuk mencintai, dan beberapa orang melakukannya dengan cara yang sederhana namun tetap bermakna. Dan kali ini, aku tidak memaksakan usahaku agar Nampak dimatamu. Akan aku lakukan secara sederhana, karena dunia tidak perlu tahu bahwa seseorang sedang mencintaimu. Mungkin ini akan menghabiskan banyak sekali tenaga hanya untuk menyimpannya rapat-rapat dalam hati, agar kamu tidak berubah lalu pergi.

            Ternyata semakin samar usahaku menaklukanmu sebagai pemilik hati, semakin kuat pula rasa sakit dan luka yang melekat pada diri. Melihatmu yang semakin lupa diri hingga memposting hal-hal yang memancing benci, membuatku seakan “sepertinya memang sudah tidak bisa diapa-apakan lagi” sekalipun aku berusaha menjadi paling dominan di sisi, yang selalu ada baik dari fisik maupun materi, sepertinya itu tidak akan cukup untuk membuatmu bertahan disini.

Butuh waktu lama untuk mencari cara agar aku bisa sepenuhnya merelakan, tidak peduli lagi dengan segala perbuatan hingga semua postinganmu di sosial media, atau bahkan sekedar membalas pesan singkat di Line ataupun WA.

Kamu,
tidak sepatutnya datang dan pergi seperti ini, memperjelas kebodohan bahwa aku lagi-lagi sedang dimanfaatkan. Mungkin ini akan menjadi hal paling murahan bagimu, tapi mengertilah bahwa ini bukan seperti aku, wanita yang mudah menaruh rasa dan hati pada seorang pria, apalagi seperti mu. Bagiku, kamu adalah teman dan juga lawan yang suatu waktu bisa menghancurkan. Lucu, hingga untuk meluapkan benci karena diperlakukan seperti ini pun aku tidak mampu, apalagi merelakan kamu yang mungkin suatu saat nanti benar-benar lupa dengan semua apa-apa yang telah aku bagi dan beri.

Aku, 
Aku hanya wanita yang tidak pernah bisa menolak untuk menyambutmu pergi dan kembali,
           Semoga kamu lekas mengerti, apa arti ketulusan yang telah ku beri selama ini. Menanti bukan hal yang mudah, tapi aku yakin pilihanku takkan salah. Untuk sebuah cinta, aku hanya perlu menerima lalu berkorban, sebesar tekad yang ingin ku menangkan. Tapi setelah perjalanan Panjang ini, aku sedikit mengerti bahwa hati sudah tidak cukup besar kapasitasnya untuk menanti dan kaki sudah tidak cukup kuat untuk berlari lagi. Jika kamu masih ingin bermain, maka teruskanlah. Kamu pasti temukan akhir dari datang dan pergimu. Entah itu memilih untuk tinggal dengan hatiku, atau pergi dan menghilang lagi.

Jika baru tumbuh satu, sudah tercabik oleh waktu. 
Apakah sanggup menahan pilu dikala tumbuh seribu? Apa memang kemerdakaan hati ini pun bukan milikku?


Friday, November 8, 2019

Selamanya, kita?


         Mungkin kita ini hanyalah sepasang perasaan liar yang tumbuh begitu saja. Kita yang ingin saling menemukan dan menjadikan nyata semua rasa yang tumbuh dengan sangat lancang disetiap sudut hati. Kita yang ingin saling menjemput, tapi terlalu pengecut. Dan kita yang terlalu dekat untuk menetap, dan memaksa hadir meski tak pernah tampak di hadapan mata.

Kita?
Mungkin lebih tepatnya aku, bukan kita.

Sadarkah kamu, bahwa selama ini yang aku lakukan adalah memperpanjang kebahagiaanku dan menunda sedih dengan cara menahanmu melalui pesan-pesan ku di semua situs jejaring sosialmu, sedangkan kamu mungkin sekarang sudah lupa bagaimana cara menghubungiku seperti lalu-lalu. Aku berusaha menepis semua pikiran bahwa “kamu hanya datang padaku ketika butuh dan pergi ketika bosan” , menepis semua rasa bahwa aku sedang dimanfaatkan, dan menjauhi keinginan untuk kecewa jika memang itu benar adanya.

          Harusnya aku berbahagia, melihatmu tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang mampu memperjuangkan apa yang ingin kamu capai, harusnya. Tapi kenapa ini menjadi sangat menyebalkan hanya karena aku sudah tidak bisa menerima pesan dan teleponmu se-intens dulu.

Aku benci harus mengecek ponselku dalam hitungan detik, hanya untuk memastikan jika pesanmu tidak tertimbun, walaupun tidak adil rasanya karena kamu dengan sadar atau tidak sering menimbun pesan-pesan dariku. Harusnya dari sini aku paham dan sangat sadar bahwa beberapa kali sikapmu sudah menunjukkan kalau aku bukan siapa-siapa, selain orang asing yang sengaja dikunjungi ketika sudah tidak ada orang lain yang bisa dikunjungi untuk berbagi air mata dan luka. Harusnya. Tapi kenapa membuat diri sendiri sadar terasa sangat susah?

Aku yang selalu menyusahkan diri sendiri untuk terlibat dalam setiap cerita dan luka, yang selalu berusaha menolong orang lain tanpa bisa menolong diri sendiri yang sebenarnya sudah jatuh terjerembab dalam lubang hitam yang pekat, yang menawarkan selalu ada untuk menjadi telinga untuk mendengar, menjadi bahu untuk bersandar, menjadi raga untuk berlindung meski harus bertepuk sebelah tangan, dan hanya teman. Ah entah, aku menginvestasikan hatiku secara berlebihan padahal dengan sangat sadar bahwa aku tidak pernah mendapatkan apa-apa, hanya luka akhirnya.

         Maafkan aku, manusia si gampang jatuh hati ini. Namun kali ini, izinkanlah aku untuk mengagumi keseutuhanmu saja. Walau aku sadar bahwa ini hanya menambah luka namun aku sangat senang bisa menemukanmu diantara sesak manusia yang sibuk mencari kesempurnaan ditengah dunia yang semakin bercanda.

Walau aku tahu kita tidak akan lama, tapi bolehkah aku menikmati kita sebentar yang selalu ku harapkan selamanya?


Sunday, November 3, 2019

Rampung

          Setelah sekian lama ku kau manfaatkan dan rumpang, akhirnya datang juga hari dimana aku menerima dengan ikhlas atas segala keputusan menyakitkan yaitu perpisahan. Aku selalu berfikir bahwa ini akan susah untuk diakhiri, namun aku juga tidak pernah berfikir bahwa cara seperti inilah yang mampu membuat kita berakhir tanpa debat dan penolakan.

Sudah tidak ada lagi jarak yang merenggangkan, kini kita telah sepenuhnya terpisahkan. Akhirnya selesai sudah hubungan yang kemarin memberatkan dan penuh luka. Telah selesai tugas merindukan raga yang terpisah serta menahan gejolak rindu yang berujung pilu. Tak ada lagi genggaman tangan dan tatapan yang memabukkan, kini kita bebas dari hal-hal candu yang menyakitkan. Menyebalkan, karena melepaskan seseorang yang terbiasa ada dan sedikit banyak mewarnai semesta selalu lebih sulit dari mencintai walau itu harus bertepuk sebelah tangan.

          Keputusan sudah disepakati, meski bukan kita yang pada akhirnya mengakhiri tapi aku yakin ini yang terbaik. Sekarang mari kita selesaikan ini tanpa perayaan, kita hanya perlu melangkah maju dan menjauh dari satu sama lain. Seperti saat kita bertemu pertama kali, tak ada persyaratan dan tak ada saling memberatkan.

Tentang kita, tidak ada cerita buruk untuk dibagi, tidak aja pula kekurangan masing-masing yang perlu ditertawai. Tidak perlu marah karena keinginan kita tidak terpenuhi, tidak perlu mengeraskan kepala dan menguatkan ego untuk menuduh siapa diantara kita yang paling bersalah atas perpisahan. Karena aku yakin, bukan kamu yang salah, begitu juga dengan aku.

Jika seandainya menghapus kenangan tentangku memang masih belum bisa, mungkin menghapus nomor dan semua fotoku dari ponselmu merupakan awal yang baik dari segalanya. Kalau pergi menjauh dan meninggalkanku juga masih susah, cobalah untuk berhenti mencari tahu tentang aku itu akan jadi cara yang luar biasa untuk menyingkirkanku. Tidak perlu pedulikan aku, karena aku punya cara untuk bangkit dan bahagia ada ataupun tanpamu.

Mari kita mulai dari awal lagi, aku dengan diriku sendiri dan kau pun dengan dirimu sendiri. Anggap saja kita tak pernah bertemu hingga lebih seperti ini. Kita, tidak perlu ada kata untuk kembali daripada mengulang “Sampai Nanti” hingga dua kali.

Mari kita izinkan saja hati yang lain untuk datang dan menghuni.
Setuju?

Monday, September 30, 2019

Hanya Teman

Ini tentang kamu, yang semakin dekat dari beberapa bulan lalu.
Kali ini sengaja aku buat rangkaian sajak dan cerita tentang bagaimana aku menghadapi perasaan yang tidak seharusnya ada.

Kamu,
Kamu ada dan sangat jelas dihidupku. Seseorang yang bisa dengan mudah kurindu tapi tidak bisa tersampaikan. Setiap tidak ada kabar darimu, ada rindu yang selalu datang. Aku pikir aku harus mengatakannya padamu, tapi tiba-tiba aku sadar bahwa mungkin bagimu aku hanyalah seorang teman. Setelah itu aku menolak rinduku ada.

Tiap kali aku merindukanmu, aku menahan diri dan membentak hatiku : "Rindu? Siapa yang kau rindu? Siapa yang membuatmu pilu membiru? Dia? Kamu bahkan tidak tahu apakah dia sama sepertimu yang merindukan, mencari-cari ketika hilang atau mungkin tidak sama sekali. Berhenti!"

Kita hanya sebatas teman,
Banyak sekali rindu-rindu yang tidak bisa ku sampaikan. Waktu dan segala bentuk perhatianmu tidak bisa ku artikan sebagai sebuah perasaan lebih dari status kita yang hanya teman. Aku tidak memiliki hak untuk merasa terlalu cemburu dan khawatir dengan kehidupanmu juga sekelilingmu. Aku tidak berhak untuk menyuruhmu untuk tidak terlambat makan, mengingatkanmu akan shalat, mengajakmu bertemu atau nonton konser band favorit masing-masing, merayakan momen-momen bahagia dalam hidupmu, bergantung hingga manja padamu. Aku sadar, memang aku ini siapa? Tidak lebih dari seorang teman bagimu.

Intensitas waktu yang lebih banyak kita gunakan untuk menanyakan kabar, membicarakan kejadian hari ini, menertawakan ini dan itu hingga menjelaskan satu persatu kesedihan yang kita alami, bukan satu-satunya hal yang berhak aku klaim sebagai kebiasaan yang harus kita lakukan ketika aku rindu. Aku juga tidak bisa menanyakan "Kamu rindu aku tidak?", sekalipun kamu bisa sangat mudah ku telepon atau video call dengan alasan selain rindu. Tapi aku hanya tidak mampu menyadari siapa aku di hidupmu.

Setidaknya aku tetap kamu perlukan untuk menjadi temanmu, yang mendengar keluh kesahmu, yang selalu kau libatkan aku dalam permasalahan hidupmu. Aku hanya perlu kamu anggap ada, sekalipun hanya sebagai teman, itu sudah lebih dari cukup.

Bisa?

Friday, March 1, 2019

Jangan ajari ku tuk berpaling.

Kita berbeda,
tentang agama dan juga keyakinan.

          Mencintaimu, artinya aku harus siap dengan sejuta rasa yang akan datang nantinya. Karena cinta tidak hanya soal tawa serta kebahagiaan, ada sakit didalamnya dan akan semakin sakit jika ada cinta sebagai pondasinya. Pernah beberapa kali aku ingin menyerah saja, dalam hati aku selalu bertanya-tanya pertanyaan yang sama tentang kita. Bertanya untuk apa terus-menerus menunggu dan mengharapkan aku dan kamu menjadi sebuah kita, sedangkan kita sama-sama tahu bahwa tidak akan pernah ada kita.

Aku sudah pernah tiba pada suatu tekad untuk pergi menjauh, melupakanmu dan melanjutkan hidup. Tapi kurasa itu hanya sia-sia. Segala yang kurencanakan seketika pudar karena kamu menghampiriku dan tersenyum.

          Suatu hari kamu menanyakan tentang cinta dan kita. Bohong jika ku jawab aku tidak pernah memikirkannya. Kenyataannya adalah aku selalu mencari-cari jawaban lain untuk pertanyaan yang sudah jelas tidak ada jawabannya. Kita hanya memaksa satu sama lain, memperpanjang kebahagiaan dan menunda sedih agar tidak terluka secepat ini. Padahal aku sadar jika rasa ini tersimpan terlalu lama dan ditambah bertemu denganmu tanpa jeda, ini akan lebih menyakitkan.

Pernah kamu bahas sekali lagi tentang kita, tentang kebahagiaan dimasa depan. Aku tau, aku mencintaimu tanpa tapi dan akan selalu tumbuh dengan seiring bertambahnya hari. Dan aku pun juga sangat tau, dan kurasa kamu pun sadar, bahwa kita tidak memiliki kesempatan. Berkali-kali kita berusaha mencari jalan keluar, namun yang kita temui lagi-lagi adalah jalan buntu.

          Sampai pada akhirnya kamu menawarkanku untuk menanggalkan tasbih-ku dan memeluk rosario-mu. Aku yakin akan datang hari dimana keputusan terakhir ini terucap dari mulut satu sama lain. Bertambah lagi satu pertanyaan yang susah kutemukan jawabnya. Setelah sejauh ini, satu hal yang kusadari bahwa ternyata rasa cintaku kepadamu tidak lebih besar dari rasa kasih dan cintaku terhadap Tuhan-ku, dan kurasa begitu juga kamu.

Aku merelakan segala mimpi, rencana dan kebahagiaan dimasa depan denganmu. Aku percaya Tuhan selalu memiliki cara untuk membahagiakan ciptaannya, dan aku pun percaya bahwa kita memiliki bahagia kita masing-masing. Mungkin tidak harus satu atap rumah, tapi ingat bahwa kita selalu dibawah atap hati yang sama.

Mencintaimu sedalam dan selama ini, kurasa cukup. Untuk apa kita memaksakan hal yang diluar kapasitas kita? Jika Tuhan saja bisa kamu khianati, bagaimana aku?