Tuesday, January 21, 2014

Karena Cinta bisa Kadaluarsa ...

          Dinginku ini bukan tak berarti kepadamu, diamku ini bukan tak bermaksut terhadapmu. Aku hanya menyembunyikan apa-apa yang tak pantas untukmu ketahui lagi. Menenggelamkan diri dalam gelapnya malam dan mendominasi hati dengan alunan kesunyian. Layaknya tersangka, kau tuduh aku bertubi-tubi dengan pernyataan yang masih belum jelas kau temui kebenarannya. Kau ungkit semua cerita lama, dan menyeretku untuk mengais masa lalu dengannya. Kau beberkan semua kesalahan seakan kau sangat bersih dengan mengatakan segalanya. Apa aku memang seburuk seperti apa yang kau pikirkan dan bicarakan kepada mereka?

         Kau telah menjadi makhluk yang berbeda, padahal baru beberapa hari kita melewatinya. Semua terasa manis ketika kau masih berusaha mengejar harapmu, memintaku untuk tetap tinggal bersamamu. Entah mengapa kini semua terasa sangat asing, secepat itukah atau hanya itu yang bisa kau perjuangkan agar aku tetap bertahan?
Kau selalu menuntutku untuk menjadi seperti yang kau impikan, menuruti semua kemauan dan selalu ada ketika kau butuhkan. Lantas bagaimana denganmu, kemana perginya kamu ketika ku butuhkan? Apakah aku memintamu menuruti semua kemauanku dan apakah aku memintamu untuk berevolusi menjadi pangeran yang selalu ku impikan?

Kau selalu saja berkata, “Apakah aku hanya pelarian?”

Dan aku pun selalu menjawab dengan jawaban yang sama, tetapi mengapa kau masih meragukannya? Kau bercerita sesuka hatimu, sepuas jiwamu, kepada mereka yang bahkan seharusnya tak pantas untuk mendengarkannya. Kau selalu saja mencari hingga kecelah tersempit akan kesalahanku, hanya karna aku bersikap dingin terhadapmu. Tidakkah kau sadar, bahwa tingkah lakumu lah yang membuatku sedemikian ini?

Dan lagi kau selau saja berkata, “Bukan saja hanya aku yang ada dihatimu, melainkan dia, masa lalumu”

Lantas kali ini jawaban apa yang ingin kau dengarkan? Apakah kau sadari, secara tidak sengaja kau memkasaku untuk kembali menyentuh kenangan, membangunkan hantu di sudut kerinduan dan terdampar dalam bayang-bayang. Tidak seharusnya kau menanyakan pertanyaan yang sama kepadaku berulang-ulang, bukankah sudah jelas bahwa jawaban yang telah kulontarkan tak akan pernah berubah?

Dan ini bukan pertama atau kedua kalinya kau berucap, “Aku memang bukan lelaki yang mudah untuk bereaksi, yang dengan pintar memulai suatu hal”
Lalu sampai kapan kau ingin seperti ini, memperhatikanku terpongah-pongah berlari mengejarmu, memantau segala pengorbananku dan melihatku memperjuangkanmu tanpa sedikitpun kau bereaksi untukku. Menyenangkan bukan diperjuangkan seorang wanita layaknya kau adalah seseorang yang memang patut untuk diperlakukan sedemikian rupa. Apakah menurutmu semua ini lucu?

         Aku yang terlalu berambisi untuk mendapatkanmu atau kau yang terlalu mudah untuk menghempaskanku? Apakah dengan mempermainkan perasaanku selama berkali-kali dan aku tetap bertahan mengejarmu itu masih saja kurang sebagai bukti terhadapmu? Aku yang terus saja sabar untuk mempertahankanmu walaupun kau telah menunjukkan penolakan apa itu belum cukup? Setelah kau balas semua harapanku, pengorbananku, perjuanganku dengan penolakan dan permainanmu, kini kau datang dengan mudah menyatakan semua pernyataan bahwa aku lah yang pantas untuk menjadi kekasihmu. Lalu setelah sekian lama kau gantung perasaanku, mengapa baru sekarang kau mengaplikasikan semua isi hatimu terhadapku setelah perasaan ini menguap tak berbekas. 
Kemana saja kau kemarin, ketika aku masih mengejarmu dan mengaharapkanmu?
Setelah kau regas segenap pucuk pengharapanku, kini kau minta maaf? Semudah itu?
          Demikianlah dirimu, kau hanya ingat kekejamanku padamu walaupun kecil, bahkan kau lupa kekejamanmu sendiri terhadapku padahal begitu besarnya. Bukankah kau yang telah berjanji, bahwa kau akan selalu ada untukku, bahkan ketika kau menitikkan air mata dihadapanku, tidakkah kau ingat semua janji yang telah kau ucapkan? Hampir aku mati menanggung segala permainan hati yang kau perlihatkan, hampir aku kecewa melihatmu mengingkari semua apa yang telah kau ucapkan dengan kata janji, tanpa kau sadari kau melampaui batas ingkar akan janji yang pernah kau ucapkan. Siapakah diantara kita yang kejam?

         Setelah semua penderitaan yang kau tunjukkan, kini kau memintaku untuk menjadi sosok yang kau butuhkan? Semudah itukah bagimu membalikkan telapak tangan? Oh aku sadar, kau akan datang ketika kau membutuhkanku dan kau akan pergi ketika kau mulai jenuh terlibat denganku, seperti itukah? Sebenarnya peran apakah yang kau berikan terhadapku di permainanmu? Bukankah aku kekasihmu? Lantas tidakkah kau malu atas semua janji yang kau ucap lalu kau mengingkar begitu saja? Tidakkah kau muak melihat hubungan ini mengambang diantara amarah dan kebosanan? Apakah hanya ini yang bisa kau perjuangkan agar kekasihmu tetap tinggal?

         Aku yang telah berusaha menutup alat pendengaranku akan perkataan mereka yang ganjil terhadapmu, nyatanya kau malah membuktikan sendiri semua keganjilan tersebut dihadapakanku. Lalu kini kau ingin semua terlihat baik-baik saja? Kau ingin aku terus memperjuangkan dan mempertahankan? Memang kau siapa? Aku tak akan bodoh untuk memperjuangkan seseorang yang bahkan tak pernah memperjuangkanku, selama ini aku telah terlalu rapuh untuk bertahan pada sesuatu yang semu, sesuatu yang tak pernah akan menjadi nyata.


Kini entah cerita bahagia seperti  apa yang akan kau rangkai untukku? 

Thursday, January 2, 2014

Memapah rindu

Untuk lelaki yang tak pernah lelah membahagiakanku...
         Sore ini entah apa yang membawamu mengingatnya, lalu menangis karenanya. Kukira kau sudah tak ingin mengingatnya. Bukankah telah lama kau tak ingin menginjakkan kakimu ke rumah barunya, lalu mengapa kali ini kau datang. Lantas bisakah kusebut ini sebuah rindu?


“Mbak, kamu lagi apa? Papa lagi dimakam mamamu ini” ,tanyanya dengan suara berat.

“Aku gak ngapa-ngapain, tumben kesana pa? Papa gak kenapa-napa kan? Gak takut dimarahin istri baru?” ,balasku seenaknya.

“Gak tau alasan apa aku ada disini, yang jelas papa kangen mamamu. Entah mengapa tiba-tiba papa sangat rindu dengan mamamu, maka dari itu papa sempetin mampir kesini” ,tangisnya pecah memburu.

Hening, lidahku kelu, serasa desiran darahku berhenti dan nadiku membeku. Air mataku tergenang dipelupuk batasan air mata dan tak sanggup kutahan. Lelaki itu menunggu balasanku, tapi entah aku tak bisa berkilat lidah untuk membalasnya, aku menangis.

“Mbak, kamu jaga diri baik-baik ya. Cuma kamu sekarang yang papa punya, papa gak punya siapa-siapa lagi mbak, kamu orang yang paling berharga buat papa setelah mamamu” ,suaranya beradu dengan deruan tangis.

“Iya pa, sebisa mungkin aku selalu ada buat papa. Papa jaga diri baik-baik ya, aku juga merindukan mama sama sepertimu” ,jawabku dengan suara berat

“Iya mbak, papa merindukan mamamu. Entah mengapa seberat ini, kamu baik-baik disana” ulasnya lalu memutus saluran telepon.
Pikiranku jauh melayang memutar semua kejadian yang sudah-sudah, hatiku sakit. Entah mengapa semua jadi serumit ini, aku harus pasrah menerima dan menjalani semua seperti kemauannya. Aku berusaha sabar dan sebisa mungkin untuk tegar, berpegang terguh dengan prinsip bahwa aku akan terus bahagia untuknya. Hujan sore ini benar-benar ikut larut dalam kerinduanku terhadapnya, akankah takdir mempertemukanku dengannya? Aku dan kau sama-sama merindukannya, mungkin dia juga merindukan kita terutama padamu, maka dari itu kau digiring kerumahnya untuk sesekali berkunjung dan merasakan betapa dinginnya dibalut oleh kesepian.

16 : 16
Wonogiri - Jawa Tengah, Indonesia