Wednesday, January 7, 2015

You.



I saw you were perfect, and so I love you. Then I saw that you were not perfect , and 
I love you even more.
--- 


Melbourne, January 7, 2014

Mungkin memang benar bahwa mencintai tak harus memiliki, hanya perlu mengasihi satu sama lain. Delapan tahun berlalu. Aku kembali mengingat pria dalam foto polaroid itu. Tak membutuhkan waktu lama setelah ku memejamkan mata, karena sosoknya dengan cepat merekahkan senyum dalam ingatan, membangunkan jutaan kenangan, indah. 



"Jingga..." , ucapku lirih dan tersenyum,

Entah sudah berapa lama rindu ini tak tertuju, tak menemukan alamat tujuannya. Mungkin ada baiknya juga kubiarkan begini, karena jika suatu saat kita dipertemukan akan ada rasa merah muda yang berjatuhan. Hanya saja aku masih tidak memiliki keberanian untuk menemuinya, aku masih ingin merindukannya seperti ini. 


Foto ini selalu berbicara jelas tanpa perlu kata-kata. Hanya dengan memandang dan aku bisa memutar ulang semua rentetan cerita indah di dalamnya. Foto selalu menyimpan kenangan secara nyata. Aku selalu merutuk dalam hati, mengapa kenangan hanya dapat diputar ulang didalam kepala? Mengapa aku tidak bisa memindahkan masa lalu ke masa kini, lalu menjalaninya dan mengulang kisah indah yang sama?


Tanpa kusadari, lagi-lagi senyumku merekah, mengingat semua kenangan yang sangat indah, membuatku geli dan aku merasa sekujur tubuhku menjadi hangat. Walaupun sebenarnya aku sangat sadar bahwa rindu ini tak akan pernah berujung, sekuat apapun ia berusaha, rasa itu tidak akan pernah terbalaskan. Haruskah aku menyerah dengan semua ketidak adilan ini, Jingga?



"Jingga...", ucapku berulang.

Ah mungkin memang tidak seharusnya aku berencana untuk menemuinya. Mungkin saja dia tak pernah merindukanku seperti aku merindukannya selama ini. Mungkin saja hanya aku yang selalu mengutuk diri untuk selalu mencintainya dalam semua kekurangan.


Tiba-tiba hatiku terasa sakit, mengingat hal-hal kecil yang menjadi suatu hal besar dan membuat kita berpisah. Ego kita melawan satu sama lain. Kita berargumen, mengambil jarak, membiarkan ego menjadi tombak, dan berpisah. Andai bisa ku ulangi semuanya, mungkin dulu aku akan lebih memilih untuk diam dan tak banyak menentang. Mungkin sekarang semuanya tak akan seberantakan ini, dan kita masih baik-baik saja. Mungkin.



"Jingga, don't you know? Sometimes I think I could get through the days without you, but the fact I can't!" ,batinku.

Aku pergi menjauhi sekumpulan foto itu. Aku berjalan mencari keramaian dengan tujuan menghilangan kenangan yang masih saja berputar di dalam ingatan. Aku mencoba mencari semua kesalahannya, agar cepat rasa ini pergi dan menghilang. Tetapi aku tidak bisa, semakin aku mengubur kebaikannya, dan menemukan semua kesalahannya, aku semakin menyayangi sosoknya yang hilang. 

Aku menerawang ke langit, ku pejamkan mataku dan merasakan sinar mentari merasuk dalam setiap rongga tubuhku. Hangat. 

Sampai pada akhirnya aku tersungkur ke tanah ketika seseorang menabrakku.


"Sorry. Are you okay? Let me help you." ,ujar pria yang telah menabrakku.


Aku membuka mataku, dan mengerjap. Aku mematung menatapnya. Tiba-tiba ada guratan lembut merasuk dalam tubuhku. Benarkah ini dia? batinku.



"Hi, what are you looking at? Come on standup before everyone here hit you baby." ujarnya dan tersenyum.


Aku masih mematung. Dibawanya aku menjauh dari keramaian, memasuki kedai kopi, Griffito Coffee. Kita duduk berhadapan, dan seperti biasanya, ia menatapku tanpa henti dan tersenyum. Senyum itu, senyum yang mampu membuat wajahku menghangat. Tuhan...



"What are you doing there? Trying to hurting yourself by sit in the road when peoples crazy to walk fastly?" ujarnya.


Aku masih terdiam menatapnya. Bagaimana bisa. Hanya itu kata-kata yang terus berulang didalam benakku. Aku tersenyum melihat dia yang kini sedang sibuk memilihkan kopi terbaik di tempat ini. Aku hanya mengangguk, menandakan aku setuju dengan pilihannya. 



"I dunno why you still silent. I knew silent is gold. But please how can I pay that gold dear? With this your fave coffee, is it okay?" ujarnya menggodaku.


Aku masih merasakan guratan hangat disekitar wajahku. Sudah lama sekali aku tak melihatnya. Dia adalah Wilson, aku memanggilnya Wils. Pria ini tak sengaja ku kenal ketika kita menjadi waiting list  di Cafe ini juga. Sampai ketika hanya tersisa meja untuk dua orang, lalu waitress itu menyarankan ku untuk berjoin  dengannya. Well disinilah kita bertemu kembali. 



"Hi dont look at me like that. Whats wrong with you? Is there any problems with you? Tell me, I'll try to solve it." ,ucapnya mantap.


Entah, dia selalu saja seperti ini, selalu baik. Aku selalu bercerita masa laluku dengannya, dan tentang pria itu juga. Dan dia selalu membantuku menangani semuanya, mengajakku bercanda walau aku sedang tidak ingin. Dia selalu tau apa yang bisa membuatku netral kembali. Dia selalu ada.



"If it because of your ex, I just wanna say something to you. Why you never look around you? There is people who more respect, care and love you the way he is. But Why you still loved him, who never loved you back, is it not hurt you? Can you see me, a boy that always there for you, a boy who always wipe your tears, give your smile even you didnt want to smile, can you?" , ucapnya.


Ya, mengapa aku tidak bisa melihatnya? 

Mengapa aku terlalu buta akan seseorang yang jelas tidak memintaku untuk kembali, yang jelas tidak benar-benar nyata dalam memori. Aku masih belum menemukan potongan jawaban itu, bukan aku yang bisa menjawab, mungkin dia, atau bahkan waktu.


"Baby, please think twice, why you still keep people that never keep you? Why you still cry for people that maybe never remember you? Why? You are too kind and beauty to this one. He left you, and its enough. I never want to see you cry and feeling so blue again. Can I keep you for my self?" ucapnya.


Aku menatapnya, ada kesungguhan dari apa yang ia katakan. Entah apa lagi yang aku pertahankan, mungkin memang benar yang dikatakan Wils, tapi hatiku masih berkata jangan melepaskannya. Aku tersenyum membalas semua ocehan Wils pagi ini. Ku minum dikit demi sedikit kopi ini. Ada pahit yang menyeruak ke dalam kerongkongan mulutku. Sepahit kenangan yang selama ini kupertaruhkan sendirian.



"Wils. Thank for always cheer me up. I knew if the past is over, and I knew you are the best people I had in my whole of my life. But I cant forget him, it just drivin' me crazy Wils. I dont want to hurt you by love you when I am not ready to love. But I love you the way you are, thanks." ucapku lalu pergi meninggalkannya.


Aku melangkah menjauhi Cafe itu dan Wils. Aku menyayanginya, tetapi aku tidak ingin melukainya. Aku mengutuk diriku sendiri yang tidak bisa membuka hatiku untuk orang lain. Aku berjalan, melawan angin, dan menangis. Kali ini bukan sosok pria dimasala lalu yang berhasil membuatku menangis, tapi Wilson lah yang mampu membuat hatiku lebih nyeri. 


Seseorang memeluku dari belakang, dan berkata,



"Do not left me like that Baby, it is hurt! Please see me, I do not care. I will trying best to make you like me crazy than him." ucapnya bergetar.


Aku membalikkan tubuhku dan menatapnya. Wils, sebegitukah rasamu padaku. Aku tidak pernah merasa dikejar seperti ini. Dia, seseorang yang kucinta tak pernah mengejarku sepertimu. Apa ini suatu jawaban dari jutaan pertanyaan yang mengatung di awan-awan?



"Wils. I am done, past is over. And I will try with you.."  ucapku terisak.


Tanpa kusadari, perlahan wajahnya mendekat, mendaratkan sentuhan lembut pada permukaan bibirku. Mataku terpejam. Seluruh tubuhku menghangat. Aku mematung, hampir jatuh, dan tangan Wils seketika melingkar di pundakku. Menenggelamkanku dalam tubuh bidangnya.



---

His kiss,
crashing waves on an empty beach. The rhythm of our heart. Two of us drowning lovers lost at sea.My lips adrift in yours. 
- Michael Faudet