Kita sedang bergurau, kulihat kau
tersenyum tersipu dan wajahmu merona hebat lalu kau tertunduk diam. Sudah berapa lama aku tak memperhatikanmu
bertingkah seperti ini, selama itukah hingga senyum singkatmu mampu
menghentikan resonansi duniaku?
Senyuman itu memapahku berjalan mengembalikan waktu, waktu
dimana kita pernah bersama dulu. Disini, di sudut kenangan ini, kita berkenalan
lagi dengan rindu. Tidak untuk rasa! Kuhalangi semua rasa yang berusaha mengatup-atup
melangkahi benteng hatiku ini. Ku bertahan di sudut kenangan, membiarkan semua
rindu menari pongah dalam kesakitannya, karena ia tak bisa terbalaskan dengan
sempurna. Menarilah rinduku, selagi memang kau mampu untuk menari dengannya.
Meliuklah, ikutilah semua notasi-notasi kenangan ini. Bawalah aku luluh
bercampur dengan senyumnya.
Bagiku hujan selalu menjadi salah satu alasan untukku,
alasan untuk mengulang semua cerita dalam abjad kesunyian. Susunan abjadku
tercerai berai entah apa yang harus dieja, maafkan aku mungkin memang semua itu
salahku harus menjatuhkanmu dipuncak kebahagiaan. Andai kamu tahu semua
alasanku, andai kamu mengerti aku pun tak ingin seperti ini. Kali ini aku
sungguh tak perduli jika mereka harus mencaciku bahkan membenciku karena telah
menyia-nyiakanmu dulu. Mulutku sudah terlalu bisu untuk menjelaskan apa yang
sebenarnya kurasakan, dan sedangkan telinga mereka sudah cukup tuli untuk
mendengarkan semua pernyataan yang sudah kulontarkan.
Dan akhirnya aku sampai pada tahap dimana aku harus melihat
posisiku telah terganti olehnya, posisi yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Aku terhempas jauh dan terjatuh begitu dalam. Ku kira langkahku sudah benar, ku
rasa hatiku sudah teramat ikhlas, dan ku pikir anggapanku adalah segalanya. Tapi
nyatanya aku salah, aku terpaksa berhenti. Hari-hariku yang tiba-tiba penuh
sesak dengan kekosongan dan bahkan mampu membuatku tertekan dengan kehadirannya
saat itu. Mungkin bagimu aku terlalu berlebihan karena kamu tak ada dalam
posisiku, kamu tak merasakan sesaknya jadi aku, menjadi masa lalumu yang
diam-diam masih menyimpan rapi semua memori akanmu.
Sejak dulu, harusnya tak perlu kuperhatikan kamu terlalu
dalam. Sejak awal, seharusnya kita hanya menjadi teman. Harusnya aku lebih
ikhlas memberikanmu untuk sahabatku, bukan aku. Sejak tahu kehadiranmu,
harusnya aku tak menggubrismu, harusnya aku sadar bahwa kamu adalah sahabat
dari mantan kekasihku. Aku terlalu berambisi, aku terlalu sombong, aku terlalu
penasaran, terlalu mengikuti rasa ingin tahuku yang berlebih ini. Jika saja dari
awal aku mendekatkanmu dengan sahabatku, jika saja dari awal aku tak
menggubrismu, jika saja dari awal aku tak penasaran denganmu, mungkin aku tak
akan tahu rasanya menyakiti malaikat sepertimu, mungkin saja aku tak akan melihatmu
terluka dan menangis, dan mungkin saja kita masih bisa bercanda tawa sampai
detik ini.
Iya aku memang bodoh, puas?
Semua telah berlalu, bukankah setiap cerita memiliki batas
akhir. Entah itu akhir bahagia ataupun sebaliknya. Tugasku telah berakhir,
walaupun ini bukan akhir yang aku ataupun kau pilih. Andai saja aku bisa
memilih cerita akhir, aku hanya ingin mendekapmu ditengah rintik hujan dan
menikmatinya bersamamu sampai pelangi tiba, seperti yang kau ajarkan.
Untuk hari ini, terima kasih telah memberiku sedikit ruang
untuk menikmati kembali rindu yang telah lama tersingkirkan. Maafkan aku tak
bisa membalas semua tingkah manismu dulu, maafkan aku karena telah menjadi yang
pertama dan sangat teramat menyakitkan bagimu, maafkan aku karena telah merusak
semua impian dan harapan yang telah kita gantung setinggi-tingginya. Jika
mungkin kini aku ingin kembali dan berkata bahwa aku sangat kecewa, mungkin ini sudah sangat
terlambat.
Aku punya satu permintaan untukmu, walaupun kamu tidak akan
pernah membaca ini, tapi semoga hatimu terbesit untuk mengabulkan permintaanku
ini, ‘Bisakah kita menjadi seperti dulu? Saat kita masih sering bertukar
cerita, membagi canda tawa, menjadi makhluk paling usil, dan menikmati hujan
bersama. Aku hanya rindu menjadi alasan dibalik senyum ceriamu yang mampu
menghangatkan hari-hariku seperti dulu, bukan tatapan dingin yang selalu kau
lemparkan kepadaku seperti saat ini’
Ingatkah kamu, Malaikat Hujanku :
“Setiap mendung ada dua hal yang aku
ingat, kamu dan kenangan kita sewaktu hujan”
Begitu juga aku,
“Setiap hujan ada
banyak yang aku ingat, salah satunya adalah kamu dan caramu menikmati hujan
bersamaku”
Aku,
Wanita paling bodoh yang pernah kau pilih