Mungkin kita ini hanyalah sepasang perasaan liar yang tumbuh begitu
saja. Kita yang ingin saling menemukan dan menjadikan nyata semua rasa yang
tumbuh dengan sangat lancang disetiap sudut hati. Kita yang ingin saling
menjemput, tapi terlalu pengecut. Dan kita yang terlalu dekat untuk menetap,
dan memaksa hadir meski tak pernah tampak di hadapan mata.
Kita?
Mungkin lebih tepatnya aku, bukan kita.
Mungkin lebih tepatnya aku, bukan kita.
Sadarkah kamu, bahwa selama ini yang aku lakukan adalah memperpanjang
kebahagiaanku dan menunda sedih dengan cara menahanmu melalui pesan-pesan ku di
semua situs jejaring sosialmu, sedangkan kamu mungkin sekarang sudah lupa
bagaimana cara menghubungiku seperti lalu-lalu. Aku berusaha menepis semua
pikiran bahwa “kamu hanya datang padaku ketika butuh dan pergi ketika bosan”
, menepis semua rasa bahwa aku sedang dimanfaatkan, dan menjauhi keinginan
untuk kecewa jika memang itu benar adanya.
Harusnya aku berbahagia, melihatmu tumbuh dan berkembang menjadi pribadi
yang mampu memperjuangkan apa yang ingin kamu capai, harusnya. Tapi kenapa ini
menjadi sangat menyebalkan hanya karena aku sudah tidak bisa menerima pesan dan
teleponmu se-intens dulu.
Aku benci harus mengecek ponselku dalam hitungan detik, hanya untuk
memastikan jika pesanmu tidak tertimbun, walaupun tidak adil rasanya karena
kamu dengan sadar atau tidak sering menimbun pesan-pesan dariku. Harusnya dari
sini aku paham dan sangat sadar bahwa beberapa kali sikapmu sudah menunjukkan
kalau aku bukan siapa-siapa, selain orang asing yang sengaja dikunjungi ketika
sudah tidak ada orang lain yang bisa dikunjungi untuk berbagi air mata dan
luka. Harusnya. Tapi kenapa membuat diri sendiri sadar terasa sangat susah?
Aku yang selalu menyusahkan diri sendiri untuk terlibat dalam setiap
cerita dan luka, yang selalu berusaha menolong orang lain tanpa bisa menolong
diri sendiri yang sebenarnya sudah jatuh terjerembab dalam lubang hitam yang
pekat, yang menawarkan selalu ada untuk menjadi telinga untuk mendengar, menjadi
bahu untuk bersandar, menjadi raga untuk berlindung meski harus bertepuk
sebelah tangan, dan hanya teman. Ah entah, aku menginvestasikan hatiku secara
berlebihan padahal dengan sangat sadar bahwa aku tidak pernah mendapatkan
apa-apa, hanya luka akhirnya.
Maafkan aku, manusia si gampang jatuh hati ini. Namun kali ini,
izinkanlah aku untuk mengagumi keseutuhanmu saja. Walau aku sadar bahwa ini
hanya menambah luka namun aku sangat senang bisa menemukanmu diantara sesak
manusia yang sibuk mencari kesempurnaan ditengah dunia yang semakin bercanda.
Walau aku tahu kita tidak akan lama, tapi bolehkah aku menikmati “kita”
sebentar yang selalu ku harapkan selamanya?
No comments:
Post a Comment