Sunday, August 24, 2014

Seperti Pelangi



“banyak hal yang tak terduga, kamu salah satunya”

Seperti pelangi kehadiranmu disisiku, membiaskan pesona  warna mejikuhibiniu yang menyilaukan mata. Bias warnamu menembus dinding-dinding hatiku, melumerkan jutaan balok es yang selama ini menaungi benteng hidupku. Tawamu, leluconmu, perhatianmu, semuanya tentangmu, ah membuatku tak bisa berhenti merekam setiap detik pergerakanmu. Ketika kau tak tertangkap oleh retinaku, tahukah bahwa aku mencarimu hingga kutulikan telingaku dan memfokuskan duniaku yang hanya tertuju oleh sosokmu?

Pelangiku,
begitu caraku menyebutmu dalam kesendirianku. Tanpa ada satupun yang tahu, terutama kamu.
Bolehkah aku berkata jujur, walau ku tahu kau takkan pernah membaca tulisan ini, kalau sebenarnya aku telah memperhatikanmu sejak awal kita bertatap mata. Dan tanpa ada niatan menguntit jejakmu, kini kita berada dalam satu lingkup pekerjaan yang sama. 

Aku yang pendiam, kau yang mencari perhatian.
entah memang dari awal aku tak berniat untuk memulai percakapan dengan orang asing, atau memang itu sifatku. Dan hari itu, hari dimana kita bertegur sapa dan saling bertukar pikiran. Entah ada rasa nyaman yang mulai menjalar dan menyulut kobaran api benci ketika melihatmu dengan wanita lain. Ku ikuti saja apa maunya rasa, terkadang cinta lebih memilih menjadi sesuatu yang rahasia.

Seiring berjalannya waktu, semakin sering juga kegiatan yang kita lakukan bersama. Dan sejauh kenyamanan yang kurasa, secepat ini pula tamparan yang kurasa, kau menyukai seseorang yang masih kau sembunyikan identitasnya dariku. Aku kehilangan kata-kata, semua serupa bisikan tanpa makna, yang tersisa hanyalah bekas tamparan dan luka.

Ada awal, selalu ada akhir. Entah itu akan berakhir bahagia, atau luka.
Seharusnya memang aku tak lancang menafsirkan semua perhatianmu dalam bentuk kenyamanan untukku sendiri, walaupun semuanya indah. Kau yang tak mungkin ku miliki, seperti pelangi, ku hanya bisa menatapmu dan menikmati bias pesonamu. Harusnya aku menyadari, bahwa biasmu tak hanya aku saja yang merasakan, tetapi juga dengannya. 

Kumerindukanmu dalam diamku, tetapi rindu ini tak akan pernah bisa menepi, karena yang harus kusadari, seperti layaknya pelangi, kau hanya berada jauh disana, dilangit. Terlalu indah, sangat indah, tetapi tak terjangkau. 

Aku berharap bisa menghindarimu, namun mengapa kamu selalu berada ditempat yang selalu aku tuju? 

Entahlah, porsimu memang segini dalam kehidupanku. Maaf jika aku salah mengartikan seluruh perhatianmu terhadapku, yang hanya sebagai teman. Berbahagialah, doa indah selalu terucap untukmu pelangiku, terimalah …

Friday, August 15, 2014

Kau datang lagi



“A hundred times a day, thousands of times, I resent it and resent it even more. Why did I have to meet you? Why did it have to be you? You make me resent… and blame myself. You are someone who makes me regret. You’re like a nightmare I don’t want to remember. Didn’t I tell you? Go back to the time when you didn’t know me. Go back, and meet a girl better than me and live a happy life everyday. Forget a punk like me and live happily. Please live that way.”- City Hunter

***
Bandung,  15 Agustus 2014

Setelah semua menghilang, setelah kau acuhkan perjanjian kita, senja tak lagi sama dengan apa yg pernah kulihat. Tak memancarkan keindahan, tak berkilauan, dan bias ronanya tak sedikitpun menembus dinding hatiku yang beku. Ternyata sejahat ini sosokmu, hingga sampai aku kehilanganmu pun kau membuatku lebih egois menutup hati untuk merasakan keindahan dunia luar. Seindah senjakah dirimu, hingga aku mampu menutup hatiku rapat-rapat selama bertahun-tahun ini? Seberkilau rona matahari tenggelamkah dirimu, hingga kau membuatku memilih –milih tetapi pada akhirnya kau juga yang kupilih?

Kini aku sadar, bahwa tak ada sedikitpun memori tetang kita –tentangku, yang masih terekam hangat diingatanmu. Bagimu aku hanya masa lalu yang sudah tergantikan oleh wanita lain, dan hanya masa lalu yang duduk disudut ruang ingatanmu, bukan hatimu. Aku mencoba merelakan semuanya, mengikhlaskan segalanya, dan berharap Bandung adalah tempat yang tepat untuk membantu menetralisir pikiran hati dan perasaanku kembali normal. 

Bentuk dari merelakan adalah tak mengungkit perasaan atau kenangan yang pernah ada, bukti dari mengikhlaskan adalah tak dengan sengaja membangunkan bayangmu di sudut kenangan dan mengundangnya masuk untuk menikmati crita klise bersama, dan bukti dari move on adalah bersikap biasa ketika melihatnya atau sekedar bertatap mata walau hanya 10 detik.

Sejauh ini belum dikatakan rela ataupun ikhlas, karena memang sulit untuk membangun benteng pertahanan lagi. Sosokmu begitu angkuh merobohkan bentengku ketika aku benar-benar telah bisa merelakan dan melepaskanmu. Dan sejauh aku tak memandangmu, bentengku masih tetap utuh, walaupun harus runtuh setidaknya masih ada pondasi kuat untuk niat mengikhlaskan dan melepaskanmu pergi dengan orang lain. 

                Kau datang lagi, kembali membawa kenangan lama yg sudah lama yg sudah mati-matian ku lupakan. Bukan aku menolak dan tidak mempersilahkanmu masuk, hanya saja masihkah kau ingat kekejaman yang telah kau lakukan padaku? Masih ingatkah kau perlakuanmu yang menyakitiku? Masih ingatkah kau tentang kita? Masih adakah aku didalam ingatanmu selama ini, atau hanya karena kau telah sendiri dan kau melihatku sendiri, maka seenaknya kau mendoktrin kesehatanku dengan racunmu yang mungkin suatu saat aku bakal susah untuk merelakanmu lagi?

Selama ini kaulah yang sanggup menjadikanku orang yang tegar dan berani, kau pula yang sanggup menjadikanku sengsara selama-lamanya. Kau boleh saja memutuskan harapanku, tapi jangan harap kau bisa membuatku berharap lagi terhadapmu kini. Sudah banyak kesakitan yang harus kutanggung selama bertahun-tahun ini, hanya karena menjadikan perasaan ini berat hati untuk dipikul sendirian. Kemanakah perginya kau yang pernah berkata menyayangi selamanya dan mencintai sehidup semati? Tak peduli dengan omongan orang lain tentang perbedaan kita? Kemanakah perginya kau yang pernah berkata bahwa perbedaan bukan akhir dari segalanya, begitu pula dengan jarak?

Apakah kau ikut merasakan luka? Dan itukah alasan yang membawamu kesini tuk menekan hatiku lagi? Jangan anggap aku tak merasakan luka, yang kurasakan jauh lebih lama darimu. Semenjak kita mengakhiri semuanya, semenjak jarak menjadi penghalang untuk memperbaiki segalanya, semenjak ada dia yang membuatku semakin susah untuk membuktikan, dan semenjak kau lebih memilih dia daripada aku yang pernah kau sebut sebagai cinta pertamamu. Kau torehkan kesakitan berkali-kali, tapi ku tetap saja menerima kehadiranmu kembali. Kau berlari padaku ketika wanitamu lebih memilih orang lain, dan tetap saja aku mengulurkan tangan padamu, memeluk hangat tubuhmu dan mengobati lukamu. 

                Terlalu bersabarkah aku? Hingga beraninya kau menorehkan luka lain padahal luka lama pun belum tentu sembuh. Bagiku dengan kau kembali, dan diam sebentar disampingku, kau telah membantu mengeringkan lukaku. Tapi apa bedanya ketika sudah kering lalu kau lukai lagi?

Menyesal? Jangan tanyakan. Aku cukup lebih dari menyesal telah membuatmu lancang keluar masuk kehidupanku. Menyeret kenangan yang jelas-jelas telah tertata rapi di sudut ruangan hati, membangunkan nuansa masa lalu yang jelas-jelas sudah kututup rapat dalam imajinasi. Ah kamu terlalu abu-abu dalam kehidupanku, terkadang menjadi sosok yang romantis tetapi sering menjadi sosok yang menyebalkan. Bisakah kau menjadi malaikat selamanya walaupun bukan malaikatku?
Haruskah aku merindukan yang sudah-sudah, ketika sudah pula kau mengetahui kenyataan bahwa kita tidak akan pernah bisa bersama lagi?

               Kita berbeda, dan kau yang membuat perbedaan itu semakin nampak jelas di depan mata. Aku yang sudah mempersiapkan diri dari awal untuk setia bersama-sama meluruskan perbedaan ini, tapi nyatanya kaulah yg jelas memupuskan harapan kita untuk bisa terus bersama dalam keyakinan yang berbeda.

Terkadang aku ingin tertawa melihat kebodohanku yang masih saja mengingatmu, menangisimu. Mengingat semua janji yang pernah kau ucapkan, mengenang semua kenangan manis yang pernah kita lakukan, menangisi kegoblokanku karena telah melepaskanmu begitu cepat. Haha, sosokmu memang terlalu kental dihidupku, tapi tolong jika kali ini yang kau tawarkan adalah cinta sesaat, lebih baik menyingkirlah. Karena kini aku sedang merangkai masa depan, dan mencari orang yang tepat. Dan itu bukan kau!

Ingatlah bahwa kita berbeda,
mungkin hanya itu yang bisa membuat kita sama-sama sadar. Bahwa Tuhan kita sedang tidak merestui jalan kita. Berpegang eratlah pada rosariomu, dan ikuti jalan indah yang diberikan Tuhanmu. Dan aku pun aku menggenggam erat tasbih di tanganku, dan menjalani alur crita indah yang telah dirancang Tuhanku untukku.
                Semoga kenangan kita masih terekam indah dimemori satu sama lain, aku tidak ingin melupakan, hanya saja mungkin sudah cukup waktu untuk kita. Dan mungkin ini jalan Tuhan untuk kita, Tuhan mengajarkan sesuatu dari cerita kita.

Tenang, aku akan selalu menyayangimu sampai kapanpun. Hanya saja mungkin berbeda porsinya. Semoga kau menemukan apa yang kau mau, dan aku menemukan apa yang ku mau, di jalan yang telah Tuhan berikan. Berbahagialah, kini aku mungkin bisa memulai lagi untuk lebih mengikhlaskanmu dan semua kenangan kita.

Je me souviens
-hykp

Saturday, August 9, 2014

Over?

Ada hal yang ternyata benar-benar belum bisa aku lupakan, ada guratan yang masih belum bisa aku sembunyikan ketika membaca pesan singkat darimu, dan ternyata masih ada senyuman ketika membaca sebaris kalimat harapan untuk kita di pesan darimu. 

Bandung, 09 Agustus 2014.

Tepat hari ini di lima tahun yang lalu, dimana aku menemukan celah untuk grow up from the blackness. Hari dimana aku dan kamu menjadi kita, dan hari dimana semua beban terasa lebih ringan jika ada kamu di genggaman tanganku. Semua cerita, rekaman suara, dan bekas balutan hangat masih tersimpan rapi diotakku. Bagaimana tidak, setiap hari selama 5 tahun aku selalu mengucap namamu dan menyelipkan kita dalam doa.

Mereka yang tau ceritaku selalu bilang bagaimana bisa. Yang ku ketahui memang ini kenyataannya, aku selalu memelukmu dalam doa, mengasihi mu dalam sunyi, dan mencintaimu dalam sepi. Aku yang tak pernah peduli dengan siapa kamu memadu kasih, bahkan aku yakin kamu pernah sesetia ini mengingatku dalam memori.

Aku yang membiarkanmu menjalin kasih dengan dia, aku yang selalu menutupi cemburu dan amarahku dengan melampiaskan kepada pria lainnya, aku yang tak punya hati meninggalkan pria yang nyatanya jauh lebih baik dari kamu ketika dia sedang cinta-cintanya.
Bagaimana? Mengapa? Kenapa? Hanya itu yang selalu terngiang ditelingaku ketika kamu menjadi alasanku menjajali semua pria baik lalu pergi. Aku tidak tau seberapa penting kamu dihidupku, yang aku tau hanya kamu yang selalu aku sebut ketika menghadap Tuhanku, yang aku tau hanya kamu alasanku untuk berjalan sejauh ini walaupun aku menapaki jalanan berduri.

Lima tahun berjalan,
aku yang masih saja menggantungkan harapan agar kamu datang dan menepati semua janjimu tepat di hari jadi kita yang ke lima ini.
Jarum jam dengan jahatnya berjalan cepat, memaksaku memasuki detik terakhir hingga bergantinya hari dan kamu belum sama sekali merespon semua kode yang kubuat melalui pesan singkat di sosial media.

Lima tahun yang sia-sia kah?
aku yang selalu menunggumu dalam kesendirian,
aku yang selalu menyayangi dalam balutan sepi,
aku yang selalu mencintaimu dalam jarak tanpa henti,
kini kamu mengingkari janji yang telah kita patri dalam memori?

Apakah aku selama ini hanya hantu disudut kenanganmu? Apa aku hanya selembar kain lusuh yang tercecer di pojok ruang ingatanmu?
Jika tidak, mengapa kamu tidak datang hari ini?

Oh aku tau,
hanya karena kita berbeda, rosario erat digenggaman tanganmu dan tasbih di pelukanku, kamu tak ingin mengingat sedikit tentang kita  hari ini?
hanya karena aku tak memenuhi permintaanmu untuk turut serta menggenggam rosario bersamamu?

Dan semua terjawab sempurna,

i wasted my times for nothing, too fast to say it but thank to you to had be my something in the past
happy failed fifth years anniversary, our past is over :)