Sunday, November 10, 2019

Kita dan Kata.


          Sudah lama dari hari dimana aku tidak membahas tentang kita, tentang kita yang tidak akan pernah selesai dengan sebuah kata-kata. Kamu, yang selalu hangat lebih dari mentari pagi. Yang terbit bukan dari Timur, melainkan dari dalam hati. Ada banyak cara untuk mencintai, dan beberapa orang melakukannya dengan cara yang sederhana namun tetap bermakna. Dan kali ini, aku tidak memaksakan usahaku agar Nampak dimatamu. Akan aku lakukan secara sederhana, karena dunia tidak perlu tahu bahwa seseorang sedang mencintaimu. Mungkin ini akan menghabiskan banyak sekali tenaga hanya untuk menyimpannya rapat-rapat dalam hati, agar kamu tidak berubah lalu pergi.

            Ternyata semakin samar usahaku menaklukanmu sebagai pemilik hati, semakin kuat pula rasa sakit dan luka yang melekat pada diri. Melihatmu yang semakin lupa diri hingga memposting hal-hal yang memancing benci, membuatku seakan “sepertinya memang sudah tidak bisa diapa-apakan lagi” sekalipun aku berusaha menjadi paling dominan di sisi, yang selalu ada baik dari fisik maupun materi, sepertinya itu tidak akan cukup untuk membuatmu bertahan disini.

Butuh waktu lama untuk mencari cara agar aku bisa sepenuhnya merelakan, tidak peduli lagi dengan segala perbuatan hingga semua postinganmu di sosial media, atau bahkan sekedar membalas pesan singkat di Line ataupun WA.

Kamu,
tidak sepatutnya datang dan pergi seperti ini, memperjelas kebodohan bahwa aku lagi-lagi sedang dimanfaatkan. Mungkin ini akan menjadi hal paling murahan bagimu, tapi mengertilah bahwa ini bukan seperti aku, wanita yang mudah menaruh rasa dan hati pada seorang pria, apalagi seperti mu. Bagiku, kamu adalah teman dan juga lawan yang suatu waktu bisa menghancurkan. Lucu, hingga untuk meluapkan benci karena diperlakukan seperti ini pun aku tidak mampu, apalagi merelakan kamu yang mungkin suatu saat nanti benar-benar lupa dengan semua apa-apa yang telah aku bagi dan beri.

Aku, 
Aku hanya wanita yang tidak pernah bisa menolak untuk menyambutmu pergi dan kembali,
           Semoga kamu lekas mengerti, apa arti ketulusan yang telah ku beri selama ini. Menanti bukan hal yang mudah, tapi aku yakin pilihanku takkan salah. Untuk sebuah cinta, aku hanya perlu menerima lalu berkorban, sebesar tekad yang ingin ku menangkan. Tapi setelah perjalanan Panjang ini, aku sedikit mengerti bahwa hati sudah tidak cukup besar kapasitasnya untuk menanti dan kaki sudah tidak cukup kuat untuk berlari lagi. Jika kamu masih ingin bermain, maka teruskanlah. Kamu pasti temukan akhir dari datang dan pergimu. Entah itu memilih untuk tinggal dengan hatiku, atau pergi dan menghilang lagi.

Jika baru tumbuh satu, sudah tercabik oleh waktu. 
Apakah sanggup menahan pilu dikala tumbuh seribu? Apa memang kemerdakaan hati ini pun bukan milikku?


Friday, November 8, 2019

Selamanya, kita?


         Mungkin kita ini hanyalah sepasang perasaan liar yang tumbuh begitu saja. Kita yang ingin saling menemukan dan menjadikan nyata semua rasa yang tumbuh dengan sangat lancang disetiap sudut hati. Kita yang ingin saling menjemput, tapi terlalu pengecut. Dan kita yang terlalu dekat untuk menetap, dan memaksa hadir meski tak pernah tampak di hadapan mata.

Kita?
Mungkin lebih tepatnya aku, bukan kita.

Sadarkah kamu, bahwa selama ini yang aku lakukan adalah memperpanjang kebahagiaanku dan menunda sedih dengan cara menahanmu melalui pesan-pesan ku di semua situs jejaring sosialmu, sedangkan kamu mungkin sekarang sudah lupa bagaimana cara menghubungiku seperti lalu-lalu. Aku berusaha menepis semua pikiran bahwa “kamu hanya datang padaku ketika butuh dan pergi ketika bosan” , menepis semua rasa bahwa aku sedang dimanfaatkan, dan menjauhi keinginan untuk kecewa jika memang itu benar adanya.

          Harusnya aku berbahagia, melihatmu tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang mampu memperjuangkan apa yang ingin kamu capai, harusnya. Tapi kenapa ini menjadi sangat menyebalkan hanya karena aku sudah tidak bisa menerima pesan dan teleponmu se-intens dulu.

Aku benci harus mengecek ponselku dalam hitungan detik, hanya untuk memastikan jika pesanmu tidak tertimbun, walaupun tidak adil rasanya karena kamu dengan sadar atau tidak sering menimbun pesan-pesan dariku. Harusnya dari sini aku paham dan sangat sadar bahwa beberapa kali sikapmu sudah menunjukkan kalau aku bukan siapa-siapa, selain orang asing yang sengaja dikunjungi ketika sudah tidak ada orang lain yang bisa dikunjungi untuk berbagi air mata dan luka. Harusnya. Tapi kenapa membuat diri sendiri sadar terasa sangat susah?

Aku yang selalu menyusahkan diri sendiri untuk terlibat dalam setiap cerita dan luka, yang selalu berusaha menolong orang lain tanpa bisa menolong diri sendiri yang sebenarnya sudah jatuh terjerembab dalam lubang hitam yang pekat, yang menawarkan selalu ada untuk menjadi telinga untuk mendengar, menjadi bahu untuk bersandar, menjadi raga untuk berlindung meski harus bertepuk sebelah tangan, dan hanya teman. Ah entah, aku menginvestasikan hatiku secara berlebihan padahal dengan sangat sadar bahwa aku tidak pernah mendapatkan apa-apa, hanya luka akhirnya.

         Maafkan aku, manusia si gampang jatuh hati ini. Namun kali ini, izinkanlah aku untuk mengagumi keseutuhanmu saja. Walau aku sadar bahwa ini hanya menambah luka namun aku sangat senang bisa menemukanmu diantara sesak manusia yang sibuk mencari kesempurnaan ditengah dunia yang semakin bercanda.

Walau aku tahu kita tidak akan lama, tapi bolehkah aku menikmati kita sebentar yang selalu ku harapkan selamanya?


Sunday, November 3, 2019

Rampung

          Setelah sekian lama ku kau manfaatkan dan rumpang, akhirnya datang juga hari dimana aku menerima dengan ikhlas atas segala keputusan menyakitkan yaitu perpisahan. Aku selalu berfikir bahwa ini akan susah untuk diakhiri, namun aku juga tidak pernah berfikir bahwa cara seperti inilah yang mampu membuat kita berakhir tanpa debat dan penolakan.

Sudah tidak ada lagi jarak yang merenggangkan, kini kita telah sepenuhnya terpisahkan. Akhirnya selesai sudah hubungan yang kemarin memberatkan dan penuh luka. Telah selesai tugas merindukan raga yang terpisah serta menahan gejolak rindu yang berujung pilu. Tak ada lagi genggaman tangan dan tatapan yang memabukkan, kini kita bebas dari hal-hal candu yang menyakitkan. Menyebalkan, karena melepaskan seseorang yang terbiasa ada dan sedikit banyak mewarnai semesta selalu lebih sulit dari mencintai walau itu harus bertepuk sebelah tangan.

          Keputusan sudah disepakati, meski bukan kita yang pada akhirnya mengakhiri tapi aku yakin ini yang terbaik. Sekarang mari kita selesaikan ini tanpa perayaan, kita hanya perlu melangkah maju dan menjauh dari satu sama lain. Seperti saat kita bertemu pertama kali, tak ada persyaratan dan tak ada saling memberatkan.

Tentang kita, tidak ada cerita buruk untuk dibagi, tidak aja pula kekurangan masing-masing yang perlu ditertawai. Tidak perlu marah karena keinginan kita tidak terpenuhi, tidak perlu mengeraskan kepala dan menguatkan ego untuk menuduh siapa diantara kita yang paling bersalah atas perpisahan. Karena aku yakin, bukan kamu yang salah, begitu juga dengan aku.

Jika seandainya menghapus kenangan tentangku memang masih belum bisa, mungkin menghapus nomor dan semua fotoku dari ponselmu merupakan awal yang baik dari segalanya. Kalau pergi menjauh dan meninggalkanku juga masih susah, cobalah untuk berhenti mencari tahu tentang aku itu akan jadi cara yang luar biasa untuk menyingkirkanku. Tidak perlu pedulikan aku, karena aku punya cara untuk bangkit dan bahagia ada ataupun tanpamu.

Mari kita mulai dari awal lagi, aku dengan diriku sendiri dan kau pun dengan dirimu sendiri. Anggap saja kita tak pernah bertemu hingga lebih seperti ini. Kita, tidak perlu ada kata untuk kembali daripada mengulang “Sampai Nanti” hingga dua kali.

Mari kita izinkan saja hati yang lain untuk datang dan menghuni.
Setuju?

Monday, September 30, 2019

Hanya Teman

Ini tentang kamu, yang semakin dekat dari beberapa bulan lalu.
Kali ini sengaja aku buat rangkaian sajak dan cerita tentang bagaimana aku menghadapi perasaan yang tidak seharusnya ada.

Kamu,
Kamu ada dan sangat jelas dihidupku. Seseorang yang bisa dengan mudah kurindu tapi tidak bisa tersampaikan. Setiap tidak ada kabar darimu, ada rindu yang selalu datang. Aku pikir aku harus mengatakannya padamu, tapi tiba-tiba aku sadar bahwa mungkin bagimu aku hanyalah seorang teman. Setelah itu aku menolak rinduku ada.

Tiap kali aku merindukanmu, aku menahan diri dan membentak hatiku : "Rindu? Siapa yang kau rindu? Siapa yang membuatmu pilu membiru? Dia? Kamu bahkan tidak tahu apakah dia sama sepertimu yang merindukan, mencari-cari ketika hilang atau mungkin tidak sama sekali. Berhenti!"

Kita hanya sebatas teman,
Banyak sekali rindu-rindu yang tidak bisa ku sampaikan. Waktu dan segala bentuk perhatianmu tidak bisa ku artikan sebagai sebuah perasaan lebih dari status kita yang hanya teman. Aku tidak memiliki hak untuk merasa terlalu cemburu dan khawatir dengan kehidupanmu juga sekelilingmu. Aku tidak berhak untuk menyuruhmu untuk tidak terlambat makan, mengingatkanmu akan shalat, mengajakmu bertemu atau nonton konser band favorit masing-masing, merayakan momen-momen bahagia dalam hidupmu, bergantung hingga manja padamu. Aku sadar, memang aku ini siapa? Tidak lebih dari seorang teman bagimu.

Intensitas waktu yang lebih banyak kita gunakan untuk menanyakan kabar, membicarakan kejadian hari ini, menertawakan ini dan itu hingga menjelaskan satu persatu kesedihan yang kita alami, bukan satu-satunya hal yang berhak aku klaim sebagai kebiasaan yang harus kita lakukan ketika aku rindu. Aku juga tidak bisa menanyakan "Kamu rindu aku tidak?", sekalipun kamu bisa sangat mudah ku telepon atau video call dengan alasan selain rindu. Tapi aku hanya tidak mampu menyadari siapa aku di hidupmu.

Setidaknya aku tetap kamu perlukan untuk menjadi temanmu, yang mendengar keluh kesahmu, yang selalu kau libatkan aku dalam permasalahan hidupmu. Aku hanya perlu kamu anggap ada, sekalipun hanya sebagai teman, itu sudah lebih dari cukup.

Bisa?

Friday, March 1, 2019

Jangan ajari ku tuk berpaling.

Kita berbeda,
tentang agama dan juga keyakinan.

          Mencintaimu, artinya aku harus siap dengan sejuta rasa yang akan datang nantinya. Karena cinta tidak hanya soal tawa serta kebahagiaan, ada sakit didalamnya dan akan semakin sakit jika ada cinta sebagai pondasinya. Pernah beberapa kali aku ingin menyerah saja, dalam hati aku selalu bertanya-tanya pertanyaan yang sama tentang kita. Bertanya untuk apa terus-menerus menunggu dan mengharapkan aku dan kamu menjadi sebuah kita, sedangkan kita sama-sama tahu bahwa tidak akan pernah ada kita.

Aku sudah pernah tiba pada suatu tekad untuk pergi menjauh, melupakanmu dan melanjutkan hidup. Tapi kurasa itu hanya sia-sia. Segala yang kurencanakan seketika pudar karena kamu menghampiriku dan tersenyum.

          Suatu hari kamu menanyakan tentang cinta dan kita. Bohong jika ku jawab aku tidak pernah memikirkannya. Kenyataannya adalah aku selalu mencari-cari jawaban lain untuk pertanyaan yang sudah jelas tidak ada jawabannya. Kita hanya memaksa satu sama lain, memperpanjang kebahagiaan dan menunda sedih agar tidak terluka secepat ini. Padahal aku sadar jika rasa ini tersimpan terlalu lama dan ditambah bertemu denganmu tanpa jeda, ini akan lebih menyakitkan.

Pernah kamu bahas sekali lagi tentang kita, tentang kebahagiaan dimasa depan. Aku tau, aku mencintaimu tanpa tapi dan akan selalu tumbuh dengan seiring bertambahnya hari. Dan aku pun juga sangat tau, dan kurasa kamu pun sadar, bahwa kita tidak memiliki kesempatan. Berkali-kali kita berusaha mencari jalan keluar, namun yang kita temui lagi-lagi adalah jalan buntu.

          Sampai pada akhirnya kamu menawarkanku untuk menanggalkan tasbih-ku dan memeluk rosario-mu. Aku yakin akan datang hari dimana keputusan terakhir ini terucap dari mulut satu sama lain. Bertambah lagi satu pertanyaan yang susah kutemukan jawabnya. Setelah sejauh ini, satu hal yang kusadari bahwa ternyata rasa cintaku kepadamu tidak lebih besar dari rasa kasih dan cintaku terhadap Tuhan-ku, dan kurasa begitu juga kamu.

Aku merelakan segala mimpi, rencana dan kebahagiaan dimasa depan denganmu. Aku percaya Tuhan selalu memiliki cara untuk membahagiakan ciptaannya, dan aku pun percaya bahwa kita memiliki bahagia kita masing-masing. Mungkin tidak harus satu atap rumah, tapi ingat bahwa kita selalu dibawah atap hati yang sama.

Mencintaimu sedalam dan selama ini, kurasa cukup. Untuk apa kita memaksakan hal yang diluar kapasitas kita? Jika Tuhan saja bisa kamu khianati, bagaimana aku?

Sunday, February 24, 2019

Membi[n]asakan.


Galaksi Bimasakti, 24 Februari 2019.

          Aku masih ingat lima tahun lalu, disudut ruang kamar, ditengah malam. Hanya sedikit cahaya dari lampu jalan yang masuk melalui celah jendela kamarku. Aku memikirkan tentang hari-hari dimana semua orang yang selalu ada selama ini, di kemudian hari akan pergi. Memikirkan bagaimana perasaan dan hidupku tanpa mereka. Karena aku rasa cukup dengan semua sakit dan sepi yang datang silih berganti, tanpa henti, selama ini. Harus kehilangan semua orang termasuk wanita luar biasa yang biasa kupanggil dengan Mama, tanpa aba-aba dan tanpa persiapan. Tidak akan bisa kujelaskan bagaimana rasa sakit dan luka disetiap sudut ruang setelah kehilangan mereka, buat beberapa orang mungkin paham tapi tidak semuanya.

Dan tepat hari ini, setelah ketakutan-ketakutan yang selalu menghantui selama lima tahun terakhir. Kini aku sadar arti dari kesedihan dan definisi sepi yang sesungguhnya. Bukan, ini bukan lagi tentang kehilangan arti rumah pada seseorang, melainkan lebih dari itu. Lebih dari itu, aku kehilangan mereka dan diriku didalamnya.

          Akan datang hari dimana, semua yang dulu selalu ada, kini perlahan-lahan pergi lalu satu persatu orang asing mengetuk hati. Semua yang pernah berjanji tidak akan mengkhianati, pada akhirnya pergi dan tak akan pernah kembali. Hingga akhirnya tanpa disadari, posisi mereka semua terganti. Ya inilah kehidupan, ketika alam ikut berkontribusi penuh dengan memperlihatkan satu persatu sifat serta menunjukkan peran manusia didalamnya, mana yang peduli dan mana yang hanya berbasa-basi.

Yang menyakitkan dari cerita ini adalah tanpa disadari ternyata mereka yang kita anggap paling paham, mengerti dan sedekat nadilah yang akan dengan mudah mendorong kita ke dalam jurang kekecewaan. Jurang yang teramat kelam, palung paling dalam, yang mematahkan semangat serta harapan dan juga impian. Namun satu yang kupelajari, bahwa hidup tidak boleh berhenti disini. Karena hidup itu harus terus berjalan, ada atau tidak ada mereka dalam pelukan. Karena ketika semua

Sampai pada hari ini, akan ada banyak lagi mereka yang menghampiri. Entah hanya untuk mengerti dan menemani, atau memilih untuk berhenti lalu pergi lagi. Karena hidup harus terus berjalan, ada atau tidak ada mereka dalam pelukan. Dan sekalipun semua tidak seperti biasanya, maka terbiasalah dengan semuanya.

- dmw.

Friday, February 15, 2019

Mr. Always Right (part 2)

          Kita pernah menjadi terang pada gelapnya kehidupan, pernah menjadi nyaman, sangat nyaman, untuk masing-masing raga yang lelah dan butuh bersandar. Tidakkah kamu sadar? Yang kita lakukan hanya kesia-siaan. Kita hanya sedang memperpanjang kebahagiaan dan menunda kesedihan. Aku dan kamu hanya belum siap untuk menghadapi, tanpa satu sama lain. Kita memaksa sedemikian rupa, hingga satu persatu harus merasakan luka. Kamu akan tetap menjadi kamu yang selalu susah kupahami, dan aku akan selalu menjadi aku yang selalu tidak bisa mengimbangi.

Mungkin kita adalah contoh dari bagian manusia yang kurang bersyukur, yang selalu saja menuntut dan meminta serba lebih, tanpa menyadari bahwa sesungguhnya tugas kita adalah saling menyempurnakan bukan menyalahkan segala bentuk kekurangan. Tidakkah seharusnya kita berhenti untuk memperjuangkan ego masing-masing lalu belajar memahami bahwa manusia juga butuh untuk dimengerti. Aku pun sama dengan manusia lainnya, yang setiap perjuangan dan pengorbanannya ingin dihargai, yang mudah menangis jika dilukai, yang sesekali juga butuh dimengerti dan menjalani hubungan pasti tidak terlalu banyak tapi ataupun nanti.

         Apa mungkin lebih baik kita akhiri saja semua omong kosong ini? Mari kita berhenti menyakiti satu sama lain. Kali ini aku berjanji untuk benar-benar berhenti, tidak akan lagi mencarimu, tidak akan lagi mengejarmu, tidak akan lagi sakit melihat isi instastories-mu, tidak akan lagi salah tingkah ketika disampingmu dan akan ku pastikan hatiku tidak melambung ketika bertatap denganmu, walau entah bagaimana caranya tapi akan kucoba. Untukmu, aku tidak memaksamu untuk menjauhiku, tidak memaksamu untuk melakukan seperti apa yang akan kulakukan untuk sekedar menghilangkan rasaku padamu. Hanya satu pesanku, berhentilah menjadi sosok yang selalu ingin menang dan didengar, mulailah menjadi pria yang bertanggung jawab dan punya pendirian. Satu lagi, jangan banyak singgah dan memberikan harap karena sama halnya dengan aku, wanita butuh sesuatu yang pasti bukan yang manis lalu pergi.

Katakan bahwa keputusanku ini sudah benar, katakan, jangan membuatku menyesal nanti. Karena aku hanyalah aku, yang pada akhirnya akan selalu luluh lagi padamu. Semoga aku bisa banyak belajar dari cerita kita selama ini, begitu juga kamu. Jika ini akhir dari cerita kita, aku ikhlas.

Selamat melanjutkan perjalanan, selamat menikmati pencarian,
semoga ingat untuk merasakan dan kuat untuk bertahan. See you around (happy cry).

-btl.

Friday, February 8, 2019

Mr. Always Right (part 1)


          Mungkin memang benar kata orang, bahwa mencintai tidak harus memiliki. Mencintaimu contohnya; aku tidak perlu memiliki ragamu untuk membuktika bahwa rasa ini benar ada. Dengan aku melihatmu sehat, hidup dengan baik, bahagia dan selalu tersenyum, meski bukan aku alasan dibalik semuanya, namun itu sudah lebih dari cukup. Ya, aku memang pengecut, yang diam-diam menyimpan hati untukmu, yang membiarkan rasa itu terus tumbuh tanpa sepengetahuanmu, dan yang hanya bisa mengagumimu dari jauh, hingga tanpa ku sadari dua tahun telah berlalu.

Kamu menciptakan rasa nyaman, kamu membuatku penuh harap akan kita, namun seketika kamu buat itu semua runtuh. Kamu membuatku terbang, namun dengan sengaja kamu pergi menghilang. Tidak sekali dua kali aku merasa diperlakukan tidak adil olehmu, diperlakukan tidak sebagaimana aku memperlakukanmu. Dan yang menyebalkan adalah melihatmu biasa saja, tidak merasa bersalah sedikit pun atas semua itu. Mungkin aku yang terlalu berekspektasi atau menaruh harapan yang berlebih akan kita. Beberapa kali aku memutuskan untuk menjauh, namun bodohnya langkahku selalu kembali padamu. Dan pada akhirnya aku selalu memaafkan segala kesalahanmu, memaklumi semua omong kosongmu, mempercayai semua janjimu, meski sebenarnya aku tahu bahwa suatu hari nanti kamu akan mengulanginya lagi. Bodoh!

          Kamu selalu merasa bahwa semua yang kamu lakukan selalu benar, tidak ada satupun yang boleh mengkoreksi apalagi memperbaiki. Sedangkan kamu selalu melihatku sebagai objek yang selalu melakukan salah, tanpa kamu mau tau mendengar dan mencoba untuk memahami segala bentuk penjelasan. Tidakkah kamu tahu bahwa dunia tidak hanya mengitarimu? Tidakkah kamu sadar, bahwa tidak semua manusia diciptakan untuk sependapat denganmu dan mengerti kamu? Mungkin saar ini hany ada aku yang selalu menerima segala perlakuan dan kekuranganmu, yang diam-diam tanpa disadari kamu melukaiku. Mengapa selalu aku yang memperjuangkan kamu, mempertahankan kita? Mengapa?

Banyak hal yang tidak kamu sadari, begitu pula dengan batasan sabar dan lelahku dalam menghadapimu. Yang suatu saat bisa habis, yang suatu hari nanti membuatku dengan mudah untuk meninggalkanmu.

- Btl.

Friday, February 1, 2019

Tidak ada kita.


          Memang ada beberapa perpisahan yang ditakdirkan tanpa pamit, dan selamat tinggal.
Tanpa titik ataupun koma, mereka berakhir dengan sejuta tanda tanya. 

Kamu tahu hal apa yang paling menyakitkan di bumi ini? 
Ternyata bukan lagi tentang senyummu yang terenggut dalam keseharian, bukan tentang lenganmu yang tak lagi tawarkan pelukan, atau tentang langkah kita yang tak bisa lagi beriringan, 
melainkan tentang harapanku yang terlalu tinggi pada setiap kehadiranmu disini. 

Aku sering bertanya adakah cinta diantara kita? Atau pertanyaan lain, bagaimana kita di masa depan? Kamu selalu tersenyum dan mengalihkan pembicaraan, seolah-olah ini semua tidak memiliki arti yang besar untukku. Jika memang tidak ada cinta pada kita, mengapa kamu selalu mencariku kembali ketika akhirnya aku memilih untuk pergi? Mengapa tidak kamu sudahi, jika hadirku bukan yang selalu kamu nanti?

          Kali ini kamu mengancamku dengan segala alasanmu untuk pergi, dengan sengaja kamu berlari menjauh dari diri. Setelah berkali-kali ku maafkan kesalahanmu lagi, ku beri kesempatan-kesempatan lain namun lagi lagi kau pergi setelah menjatuhkan hati, ternyata kamu cukup tidak tahu diri dan memilih untuk pergi lagi.

Masih banyak sekali hal yang belum sempat kita hadapi, masih banyak pula kata hati yang belum kita sepakati, dan masih banyak juga mimpi-mimpi kita yang belum terjadi. Namun kali ini aku tidak akan memaksa lagi, untuk memintamu disini lebih lama lagi. Satu hal yang ku sadari, ternyata semakin aku mencintai, semakin aku menyadari, bahwa aku hanyalah teman yang selalu kamu cari ketika kamu hanya merasakan sepi.

         Ingatkah kamu, pertemuan terakhir kita? Aku menatapmu, dengan sisa-sisa air mata. Menyadari bahwa aku dan kamu tidak pernah menjadi kita, meskipun aku sungguh cinta, namun belum tentu kamu juga. 

Maafkan aku yang mungkin selama ini selalu memaksa, dan ku maafkan kamu yang selalu membuatku jatuh cinta. Terimakasih karena sudah hangatkan dingin dan teduhkan panas. Tugasku telah selesai, terimakasih untuk pertemanan ini, anggap saja kedekatan kemarin adalah bonus.


me,
bntl.