Friday, November 8, 2019

Selamanya, kita?


         Mungkin kita ini hanyalah sepasang perasaan liar yang tumbuh begitu saja. Kita yang ingin saling menemukan dan menjadikan nyata semua rasa yang tumbuh dengan sangat lancang disetiap sudut hati. Kita yang ingin saling menjemput, tapi terlalu pengecut. Dan kita yang terlalu dekat untuk menetap, dan memaksa hadir meski tak pernah tampak di hadapan mata.

Kita?
Mungkin lebih tepatnya aku, bukan kita.

Sadarkah kamu, bahwa selama ini yang aku lakukan adalah memperpanjang kebahagiaanku dan menunda sedih dengan cara menahanmu melalui pesan-pesan ku di semua situs jejaring sosialmu, sedangkan kamu mungkin sekarang sudah lupa bagaimana cara menghubungiku seperti lalu-lalu. Aku berusaha menepis semua pikiran bahwa “kamu hanya datang padaku ketika butuh dan pergi ketika bosan” , menepis semua rasa bahwa aku sedang dimanfaatkan, dan menjauhi keinginan untuk kecewa jika memang itu benar adanya.

          Harusnya aku berbahagia, melihatmu tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang mampu memperjuangkan apa yang ingin kamu capai, harusnya. Tapi kenapa ini menjadi sangat menyebalkan hanya karena aku sudah tidak bisa menerima pesan dan teleponmu se-intens dulu.

Aku benci harus mengecek ponselku dalam hitungan detik, hanya untuk memastikan jika pesanmu tidak tertimbun, walaupun tidak adil rasanya karena kamu dengan sadar atau tidak sering menimbun pesan-pesan dariku. Harusnya dari sini aku paham dan sangat sadar bahwa beberapa kali sikapmu sudah menunjukkan kalau aku bukan siapa-siapa, selain orang asing yang sengaja dikunjungi ketika sudah tidak ada orang lain yang bisa dikunjungi untuk berbagi air mata dan luka. Harusnya. Tapi kenapa membuat diri sendiri sadar terasa sangat susah?

Aku yang selalu menyusahkan diri sendiri untuk terlibat dalam setiap cerita dan luka, yang selalu berusaha menolong orang lain tanpa bisa menolong diri sendiri yang sebenarnya sudah jatuh terjerembab dalam lubang hitam yang pekat, yang menawarkan selalu ada untuk menjadi telinga untuk mendengar, menjadi bahu untuk bersandar, menjadi raga untuk berlindung meski harus bertepuk sebelah tangan, dan hanya teman. Ah entah, aku menginvestasikan hatiku secara berlebihan padahal dengan sangat sadar bahwa aku tidak pernah mendapatkan apa-apa, hanya luka akhirnya.

         Maafkan aku, manusia si gampang jatuh hati ini. Namun kali ini, izinkanlah aku untuk mengagumi keseutuhanmu saja. Walau aku sadar bahwa ini hanya menambah luka namun aku sangat senang bisa menemukanmu diantara sesak manusia yang sibuk mencari kesempurnaan ditengah dunia yang semakin bercanda.

Walau aku tahu kita tidak akan lama, tapi bolehkah aku menikmati kita sebentar yang selalu ku harapkan selamanya?


No comments:

Post a Comment