Sunday, November 10, 2019

Kita dan Kata.


          Sudah lama dari hari dimana aku tidak membahas tentang kita, tentang kita yang tidak akan pernah selesai dengan sebuah kata-kata. Kamu, yang selalu hangat lebih dari mentari pagi. Yang terbit bukan dari Timur, melainkan dari dalam hati. Ada banyak cara untuk mencintai, dan beberapa orang melakukannya dengan cara yang sederhana namun tetap bermakna. Dan kali ini, aku tidak memaksakan usahaku agar Nampak dimatamu. Akan aku lakukan secara sederhana, karena dunia tidak perlu tahu bahwa seseorang sedang mencintaimu. Mungkin ini akan menghabiskan banyak sekali tenaga hanya untuk menyimpannya rapat-rapat dalam hati, agar kamu tidak berubah lalu pergi.

            Ternyata semakin samar usahaku menaklukanmu sebagai pemilik hati, semakin kuat pula rasa sakit dan luka yang melekat pada diri. Melihatmu yang semakin lupa diri hingga memposting hal-hal yang memancing benci, membuatku seakan “sepertinya memang sudah tidak bisa diapa-apakan lagi” sekalipun aku berusaha menjadi paling dominan di sisi, yang selalu ada baik dari fisik maupun materi, sepertinya itu tidak akan cukup untuk membuatmu bertahan disini.

Butuh waktu lama untuk mencari cara agar aku bisa sepenuhnya merelakan, tidak peduli lagi dengan segala perbuatan hingga semua postinganmu di sosial media, atau bahkan sekedar membalas pesan singkat di Line ataupun WA.

Kamu,
tidak sepatutnya datang dan pergi seperti ini, memperjelas kebodohan bahwa aku lagi-lagi sedang dimanfaatkan. Mungkin ini akan menjadi hal paling murahan bagimu, tapi mengertilah bahwa ini bukan seperti aku, wanita yang mudah menaruh rasa dan hati pada seorang pria, apalagi seperti mu. Bagiku, kamu adalah teman dan juga lawan yang suatu waktu bisa menghancurkan. Lucu, hingga untuk meluapkan benci karena diperlakukan seperti ini pun aku tidak mampu, apalagi merelakan kamu yang mungkin suatu saat nanti benar-benar lupa dengan semua apa-apa yang telah aku bagi dan beri.

Aku, 
Aku hanya wanita yang tidak pernah bisa menolak untuk menyambutmu pergi dan kembali,
           Semoga kamu lekas mengerti, apa arti ketulusan yang telah ku beri selama ini. Menanti bukan hal yang mudah, tapi aku yakin pilihanku takkan salah. Untuk sebuah cinta, aku hanya perlu menerima lalu berkorban, sebesar tekad yang ingin ku menangkan. Tapi setelah perjalanan Panjang ini, aku sedikit mengerti bahwa hati sudah tidak cukup besar kapasitasnya untuk menanti dan kaki sudah tidak cukup kuat untuk berlari lagi. Jika kamu masih ingin bermain, maka teruskanlah. Kamu pasti temukan akhir dari datang dan pergimu. Entah itu memilih untuk tinggal dengan hatiku, atau pergi dan menghilang lagi.

Jika baru tumbuh satu, sudah tercabik oleh waktu. 
Apakah sanggup menahan pilu dikala tumbuh seribu? Apa memang kemerdakaan hati ini pun bukan milikku?


Friday, November 8, 2019

Selamanya, kita?


         Mungkin kita ini hanyalah sepasang perasaan liar yang tumbuh begitu saja. Kita yang ingin saling menemukan dan menjadikan nyata semua rasa yang tumbuh dengan sangat lancang disetiap sudut hati. Kita yang ingin saling menjemput, tapi terlalu pengecut. Dan kita yang terlalu dekat untuk menetap, dan memaksa hadir meski tak pernah tampak di hadapan mata.

Kita?
Mungkin lebih tepatnya aku, bukan kita.

Sadarkah kamu, bahwa selama ini yang aku lakukan adalah memperpanjang kebahagiaanku dan menunda sedih dengan cara menahanmu melalui pesan-pesan ku di semua situs jejaring sosialmu, sedangkan kamu mungkin sekarang sudah lupa bagaimana cara menghubungiku seperti lalu-lalu. Aku berusaha menepis semua pikiran bahwa “kamu hanya datang padaku ketika butuh dan pergi ketika bosan” , menepis semua rasa bahwa aku sedang dimanfaatkan, dan menjauhi keinginan untuk kecewa jika memang itu benar adanya.

          Harusnya aku berbahagia, melihatmu tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang mampu memperjuangkan apa yang ingin kamu capai, harusnya. Tapi kenapa ini menjadi sangat menyebalkan hanya karena aku sudah tidak bisa menerima pesan dan teleponmu se-intens dulu.

Aku benci harus mengecek ponselku dalam hitungan detik, hanya untuk memastikan jika pesanmu tidak tertimbun, walaupun tidak adil rasanya karena kamu dengan sadar atau tidak sering menimbun pesan-pesan dariku. Harusnya dari sini aku paham dan sangat sadar bahwa beberapa kali sikapmu sudah menunjukkan kalau aku bukan siapa-siapa, selain orang asing yang sengaja dikunjungi ketika sudah tidak ada orang lain yang bisa dikunjungi untuk berbagi air mata dan luka. Harusnya. Tapi kenapa membuat diri sendiri sadar terasa sangat susah?

Aku yang selalu menyusahkan diri sendiri untuk terlibat dalam setiap cerita dan luka, yang selalu berusaha menolong orang lain tanpa bisa menolong diri sendiri yang sebenarnya sudah jatuh terjerembab dalam lubang hitam yang pekat, yang menawarkan selalu ada untuk menjadi telinga untuk mendengar, menjadi bahu untuk bersandar, menjadi raga untuk berlindung meski harus bertepuk sebelah tangan, dan hanya teman. Ah entah, aku menginvestasikan hatiku secara berlebihan padahal dengan sangat sadar bahwa aku tidak pernah mendapatkan apa-apa, hanya luka akhirnya.

         Maafkan aku, manusia si gampang jatuh hati ini. Namun kali ini, izinkanlah aku untuk mengagumi keseutuhanmu saja. Walau aku sadar bahwa ini hanya menambah luka namun aku sangat senang bisa menemukanmu diantara sesak manusia yang sibuk mencari kesempurnaan ditengah dunia yang semakin bercanda.

Walau aku tahu kita tidak akan lama, tapi bolehkah aku menikmati kita sebentar yang selalu ku harapkan selamanya?


Sunday, November 3, 2019

Rampung

          Setelah sekian lama ku kau manfaatkan dan rumpang, akhirnya datang juga hari dimana aku menerima dengan ikhlas atas segala keputusan menyakitkan yaitu perpisahan. Aku selalu berfikir bahwa ini akan susah untuk diakhiri, namun aku juga tidak pernah berfikir bahwa cara seperti inilah yang mampu membuat kita berakhir tanpa debat dan penolakan.

Sudah tidak ada lagi jarak yang merenggangkan, kini kita telah sepenuhnya terpisahkan. Akhirnya selesai sudah hubungan yang kemarin memberatkan dan penuh luka. Telah selesai tugas merindukan raga yang terpisah serta menahan gejolak rindu yang berujung pilu. Tak ada lagi genggaman tangan dan tatapan yang memabukkan, kini kita bebas dari hal-hal candu yang menyakitkan. Menyebalkan, karena melepaskan seseorang yang terbiasa ada dan sedikit banyak mewarnai semesta selalu lebih sulit dari mencintai walau itu harus bertepuk sebelah tangan.

          Keputusan sudah disepakati, meski bukan kita yang pada akhirnya mengakhiri tapi aku yakin ini yang terbaik. Sekarang mari kita selesaikan ini tanpa perayaan, kita hanya perlu melangkah maju dan menjauh dari satu sama lain. Seperti saat kita bertemu pertama kali, tak ada persyaratan dan tak ada saling memberatkan.

Tentang kita, tidak ada cerita buruk untuk dibagi, tidak aja pula kekurangan masing-masing yang perlu ditertawai. Tidak perlu marah karena keinginan kita tidak terpenuhi, tidak perlu mengeraskan kepala dan menguatkan ego untuk menuduh siapa diantara kita yang paling bersalah atas perpisahan. Karena aku yakin, bukan kamu yang salah, begitu juga dengan aku.

Jika seandainya menghapus kenangan tentangku memang masih belum bisa, mungkin menghapus nomor dan semua fotoku dari ponselmu merupakan awal yang baik dari segalanya. Kalau pergi menjauh dan meninggalkanku juga masih susah, cobalah untuk berhenti mencari tahu tentang aku itu akan jadi cara yang luar biasa untuk menyingkirkanku. Tidak perlu pedulikan aku, karena aku punya cara untuk bangkit dan bahagia ada ataupun tanpamu.

Mari kita mulai dari awal lagi, aku dengan diriku sendiri dan kau pun dengan dirimu sendiri. Anggap saja kita tak pernah bertemu hingga lebih seperti ini. Kita, tidak perlu ada kata untuk kembali daripada mengulang “Sampai Nanti” hingga dua kali.

Mari kita izinkan saja hati yang lain untuk datang dan menghuni.
Setuju?